Akal-Akalan dalam Riba
Akal-Akalan dalam Riba
Selalu saja ada akal-akalan untuk bisa melegalkan yang haram. Kadang
dengan pengaburan istilah. Kadang pula dengan melakukan trik-trik yang
tetap haram. Trik-trik untuk bisa melegalkan yang haram salah satunya
dapat kita lihat dalam transaksi riba.
Memahami Riba
Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). Di antara definisi riba yang bisa mewakili definisi yang ada telah dikemukakan oleh Muhammad Asy Syarbiniy. Riba adalah,
عَقْدٌ عَلَى
عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ
حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا
“Suatu akad/ transaksi pada barang
tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya
menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang
atau salah satunya” (Mughnil Muhtaj, 6: 309). Sudah diketahui pula
bahwa riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan
ijma’ (kata sepakat) para ulama (Lihat Al Mughni, 7: 492).
Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Begitu pula dalam berbagai hadits ditunjukkan bagaimanakah dosa memakan
riba yang dianggap sebagai dosa besar. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ
قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى
حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1)
Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak
yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
melaknat para rentenir (pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba,
bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut
terlaknat. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba
(nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).
Jual Beli ‘Inah, Trik Transaksi Riba
Di antara trik transaksi riba yang sudah diwanti-wanti sejak masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang disebut dengan jual beli ‘inah.
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah
seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli,
kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga
lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali
supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin
dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang
tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini
kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua
tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si
miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta
secara tunai.”
Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia
ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200
juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di
atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan
penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut.
Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-,
beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara
lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak
memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli
‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama:
Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini
dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5
juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ
لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan
cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan),
ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan
meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari
kalian hingga;lh kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242)
Trik Riba dalam Jual Beli Kredit
Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang
terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit
harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang
bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama,
barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita
contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh
membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan
tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan
penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau
semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan
di belakang.
Kriteria kedua,
barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi
milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang
tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa
ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat,
kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga.
Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi
pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang
tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual
beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara
kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga,
(2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan
terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang
belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik
bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya
sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar berkata,
كُنَّا فِى
زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ
فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang
diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan
bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami
menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan
mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.
Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.
Semoga dengan mengetahui beberapa trik ini dapat semakin membuat kita
waspada. Jangan tertipu dengan slogan syar’i semata. Kita perlu belajar
dan terus mendalami berbagai hukum Islam sehingga bisa terhindar dari
trik riba yang ada. Moga Allah berkahi kita dengan ilmu yang bermanfaat
dan menghindarkan kita dari riba serta berbagai macam triknya.